Sunday, 2 March 2025

Kenapa Perempuan Itu Masih Single di Usia 30?

Ada sosok perempuan yang masih single meskipun sudah menginjak kepala 3. Dalam masyarakat Indonesia, single di umur tersebut merupakan aib dan terus-menerus dihasut untuk segera menikah. Apalagi ketika kumpul bersama keluarga besar, kemungkinan akan disindir. Tapi tergantung karakter kerabatnya juga, tidak selalu mendapatkan perlakuan tidak mengenakan. 

Banyak orang menyuruh supaya cepat menikah karena beragam faktor, mulai dari umur hingga dalih-dalih agama. Memang tidak salah memberikan anjuran atau nasihat, asalkan tahu kondisi orang yang masih single. 

Kadang sebagian orang hanya mengedepankan asumsi sendiri dan terlalu memaksakan kehendak. Apa yang menurut orang baik, belum tentu juga baik bagi dirinya. 

Ketika seorang perempuan tersebut ditanya dan dikomentari: "Kenapa belum menikah? Kriteria yang kamu cari seperti apa? Jangan lama-lama ntar jadi perawan tua. Perempuan itu gak usah milih-milih, siapa yang mau nglamar langsung diterima aja"

Bayangkan kalimat tadi dilontarkan di depan banyak orang dan bahkan kedua orang tuanya mendengar. Dia yang semula menyambut dengan ramah, berangsur terpuruk mendengar kalimat dari sosok yang anak-anaknya sudah sukses dan beliau banggakan.

Lantas berhak melontarkan kalimat buruk kepada seseorang perempuan tidak punya status jabatan, kerja serabutan, setiap hari mencoba untuk tetap waras, minim yang mengerti, bahkan dia menahan diri untuk tidak bercerita di media sosial sekalipun. 

Karena dia tidak kuat dan perasaannya saat itu memang sedang lelah, maka ia putuskan menghindar ke dalam kamar lalu pura-pura masak di dapur. Dia kalau boleh merespon, mungkin rasanya ingin berteriak, memaki dan sebagainya. Tapi dia lebih memilih meredam emosinya. Ingin sekali ku katakan pada perempuan itu, "Hey kamu sesekali ngamuklah biar orang-orang tidak semena-mena terhadapmu". 

Kalimat "ndak apa-apa" sering kali terucap dari perempuan berkepala 3 ini. Seandainya aku ada di dunianya, akan ku bela dia sampai orang yang mencela tadi tidak berkutik. 

Berharap saja orang-orang seperti dia, doanya diijabah dan dilindungi oleh Alloh. Apalagi kini dia sudah kehilangan kedua orang tuanya, 2 pahlawan yang selama ini selalu membelanya. Dia mencoba untuk berani bicara meski sering terbata-bata. Percayalah sebenarnya dia sudah perlahan belajar dan membenahi diri tapi dia masih merasa bingung dengan perubahan drastis setelah kepergian orang tuanya. 

Dia bercerita sejak dulu kecil sering jadi korban bully karena fisiknya. Sulit bagi dirinya untuk bangkit, hanya saja sekarang ia merasa terbantu dengan adanya habit 'memakai masker'. Kini dia hampir tidak pernah lepas masker, kecuali saat makan, tidur, sholat, sendirian, pas photo SIM dan keperluan mendesak lainnya. 

Ku mengira dia mau belajar bercadar ternyata memang punya alasan tersendiri. Kebiasaannya muncul ketika seluruh penghuni di rumahnya terkena covid sehingga dilakukan isolasi mandiri di rumah. Saat dia sakit dan orang sekitarnya juga terjangkit, dia berusaha memotivasi, nawarin makanan apa yang disuka dengan order gofood, berusaha konsisten memberi obat herbal dan beberapa obat dari puskesmas. Bab ini skip aja ya, soalnya cerita bakal jadi panjang. 

Alasan pakai masker, salah satunya karena pengalaman traumatis tadi. Lama-kelamaan jadi kebiasaan. Lalu alasan kedua, semenjak pakai masker, dia merasa kekurangannya tertutupi dan tidak perlu menutup mulut dengan tangan saat berbicara. 

Yang dulunya sering mengeluhkan soal penampilan, lambat laun mulai nyaman. Meski demikian, hal itu tidak merubah mindsetnya. Dia selalu merasa sadar diri sebelum mengambil keputusan ataupun peran. 

Bahkan hanya untuk bisa naik motor, dia baru bisa melakukannya di usia kepala 3. Itupun karena dia tidak ingin terus-terusan merepotkan orang-orang di sekitarnya. Di satu sisi, dia was-was karena jalan ramai atau sesekali motor kurang nyaman dipakai. 

Untuk naik motor saja, dia penuh pertimbangan dan menyiapkan mental apalagi soal pernikahan. Tentunya bukan untuk main-main. Dia benar-benar harus bisa mempertanggungjawabkan tidak hanya di dunia tapi juga akhirat. 

Dalam islam hukum menikah itu ada 4 sesuai kondisinya: wajib, sunnah, makruh dan haram. Bisa tanyakan ke ustad atau ahlinya langsung, bila ingin tahu secara spesifik.  

Sayangnya banyak sekali yang mendesak tanpa edukasi. Seolah-olah pandai provokasi padahal rumah tangganya perlu dipertanyakan sendiri. 

Ketika melihat orang yang rumah tangganya tenang dan tahu sepak terjang di dalamnya, tidak bakal menghabiskan waktu untuk memaksa seseorang sampai terganggu. Malahan kalau butuh nasihat atau pengalaman seputar rumah tangga, mereka bercerita supaya orang lain bisa mendapatkan pelajaran. Tapi tetap keputusan ada di pihak perempuan/ laki-laki itu sendiri. Cobalah untuk bersikap bijak, kalian udah menikah lho... Seharusnya bisa lebih dewasa pemikirannya. Dan mungkin saking sibuknya pasangan-pasangan yang membangun rumah tangga, tidak sempat merecoki kehidupan seorang single. 

Coba sesekali tanyakan pada mereka yang terus mendesakmu, "Apa kamu bisa mempertanggungjawabkan kehidupan rumah tanggamu di dunia dan akhirat" (misal muslim). 

Memang rumah tangga tidak selalu sempurna tapi jangan sampai kekesalan pada orang rumah atau keaadaan, membuat orang luar terganggu dengan sikapmu yang terus mendesak. Untung kalau orang itu hanya respon senyum, berkata positif atau menahan diri. Coba diulti balik, kamu yang bakal tidak berkutik. 

Jaga lisan apalagi saat lebaran. Seharusnya saling bermaaf-maafan, bukannya malah menorehkan dendam dan ketidaknyamanan. Hindari topik sensitif, masih banyak topik lain dan receh. Misal tanyakan "Kucing di rumah sekarang ada berapa?", saat melihat sosok yang sering berinteraksi dengan kucing. Atau "Lebaran di sini sampai berapa hari?", "

"Wah sekarang udah besar-besar ya anaknya, namanya siapa?" 

"Kakaknya gak kelihatan, sekarang lagi mudik ya?" Berapa hari mudiknya?" 

Semisal tidak bisa basa-basi ya lebih baik diam saja menikmati makanan.  

Intinya sadar diri sebelum mengoreksi orang lain. Nantinya kamu akan lebih berhati-hati dan bijak dalam bertindak maupun berucap. 

Memang setiap keputusan dipilih dengan penuh kesadaran diri, supaya nantinya tidak frustrasi dan tidak mudah menyalahkan sana-sini. 



No comments:

Post a Comment