Friday, 25 July 2025

Mindset yang Membuatmu Tidak Iri dengan Nikmat Orang Lain

Di dunia serba modern ini, cukup mudah melihat kehidupan orang lain lewat story dan postingan sosial media mereka. Ada yang membagikan momen bahagia, promosi jualan hingga aktivitas-aktivitas lainnya. 

Terkadang ketika muncul konten-konten keseharian mereka, respon setiap orang berbeda-beda. Ikut bahagia atau tambah berduka? Apalagi ketika seseorang tanpa sadar membandingkan nikmat orang lain dengan kehidupannya sendiri. Maka muncul berbagai penyakit hati seperti iri dengki. Lantas siapa yang paling rugi? Tentunya diri sendiri. 

Pernahkah berpikir bahwa konten bahagia di sosial media tidak selalu menggambarkan bahwa realitanya benar-benar bahagia? Siapa tahu dibalik kemewahan yang diposting ternyata masih terjerat hutang? Kita tak pernah tahu isi pikiran dan kehidupan orang sedalam-dalamnya. Kalaupun kehidupan mereka memang kenyataan bahagia seutuhnya, toh sudah jadi bagian dari jatah hidupnya. 

Kalau ingin merenungkan sejenak, sadarkah ketika seseorang mendapat suatu nikmat pasti juga sepaket bersama risikonya. Nah, anehnya kebanyakan orang enggan menanggung risiko tapi hanya mau dapat kesenangannya saja. 

"Urusan frustrasi dipikir nanti, yang penting sekarang bisa happy" 

Begitulah kalimat menghibur diri tapi sebenarnya rentan membawa seseorang ke dalam jurang depresi. Tahu kan kenapa sekarang banyak isu kesehatan mental? Mungkin itu salah satu dari sekian faktor pendukung yang mempengaruhi kesehatan mental, yaitu kurang mengenali/ sadar diri.

Setiap keputusan perlu dipikirkan secara matang agar nanti tidak berujung pada keputus asaan. 

Menurut seorang pakar filsafat, Fahrudin Faiz, kunci hidup tenang adalah tahu diri dan tahu batas. 

Syukuri apa yang kita miliki saat ini supaya nantinya tidak menyesali. Hanya karena kita fokus terhadap nikmat orang lain, kita jadi enggan menerima nikmat yang sudah Allah berikan. Maka lambat laun muncul rasa iri, dengki dan ketika sudah terjangkiti akan dominan 'menyakiti' (entah diri sendiri maupun orang lain). 

Perihal penyakit hati memang sulit dihilangkan tapi bukan berarti tidak bisa hilang sama sekali. Semua butuh proses, asal mampu bersabar dan perlahan menerima kenyataan. 

Lantas bagaimana caranya agar bisa meredam rasa iri?

1. Mencoba paham dengan konsep bahwa roda kehidupan itu berputar, tidak selamanya berada di bawah, pasti ada saatnya seseorang menemui puncak kesuksesannya, baik di dunia maupun akhirat.

2. Ketika melihat kebahagiaan orang lain di kehidupan nyata atau postingan di sosial media, hendaknya tidak terburu-buru dalam menilai. Bisa saja dibalik keceriaan dan kesenangan yang mereka bagikan, tersimpan perasaan tertekanan atau pernah punya masa kelam. Kita tidak tahu kehidupan mereka seutuhnya. Mereka mungkin pandai menyembunyikan kesedihan mereka. 

3. Fokus pada perbaikan diri, bukan membandingkan diri dengan nikmat orang lain karena hal itu bisa menciptakan rasa iri. 

Jika ingin membandingkan, maka bandingkan kehidupan diri kita sendiri dengan kehidupan kita sebelumnya. Jadi setiap harinya termotivasi untuk berusaha lebih baik lagi, upgrade kualitas diri dan senantiasa koreksi (muhasabah) diri. 

4. Ingatlah bahwa setiap 'nikmat' yang didapat, nantinya akan dimintai pertanggungjawaban di dunia dan akhirat kelak. Coba sesekali ketika lihat nikmat orang, lihat pula risikonya. 

Misal: kamu melihat orang punya mobil mewah, lalu muncul hasrat ingin memiliki. Sejenak, coba pikirkan bagaimana konsekuensi ke depannya harus bayar pajak, perawatan, hingga risiko jika terjadi kerusakan. Belum lagi hidup itu berputar, kadang di atas kadang di bawah. Ada suatu masa di mana seseorang mengalami fase keterpurukan finansial di masa depan. Apa tidak bingung harus membayar pajak? Kalaupun ingin menjual, dapat pembeli juga tidak mudah. 

Dengan memikirkan risiko dan mengukur kemampuan diri (alias sadar diri), maka otomatis rasa iri itu tidak muncul atau malah menghilang jika sebelumnya sempat terbesit iri dengki. 

Maka sebelum membuat keputusan, salah satu faktor yang perlu dipertimbangkan adalah bagaimana respon kita terhadap risiko kegagalan atau ketidaknyamanan? Apakah kita bisa menerima secara lapang dada? Apakah kita akan menyalahkan orang lain atau keadaan ketika mendapati sebuah masalah? Coba pikirkan kembali

5. Rejeki yang sudah tertakar tidak akan tertukar. Setiap orang punya jatah rejekinya masing-masing. Poin ini juga bisa dikaitkan dengan poin sebelumnya, yaitu "Setiap nikmat akan dimintai pertanggungjawaban".

Manusia hanya bisa ikhtiar dan berdoa, hasilnya serahkan pada Yang Maha Kuasa. Dalam kitab at Tadzkirah, selama seseorang masih hidup berarti masih punya jatah rejeki. 

Ketika keimanan seseorang sudah kuat serta berpegang teguh pada janji Allah, maka hati menjadi lebih tenang dalam menjalani kehidupan. 

Orang yang beruntung itu tidak terkenal di dunia, tidak hidup dalam ekspetasi orang lain, tidak mendapat tekanan sosial, tenang, bisa lebih bebas eksplor aktivitas yang positif, tidak termakan oleh omongan negatif orang, tidak termakan ambisi yang menyesatkan, tidak haus validasi, tidak sibuk klarifikasi sana-sini, sudah berdamai dengan diri sendiri, punya batasan diri dan selalu merasa cukup atas rejeki yang sudah diberi. 

Ketika terpuruk bersabar, ketika dapat nikmat selalu bersyukur. 

Cukup sekian dulu ya... kapan-kapan disambung lagi jika mau meluangkan waktu  hehe... 

Semoga bermanfaat....

No comments:

Post a Comment