Monday, 26 May 2025

Hidup Seperti Orang Asing

Pernah dengar sebuah kalimat "Hiduplah di dunia seperti orang asing, maka kamu akan rindu untuk pulang"

Saat mendengar kalimat tersebut, apa benar bisa hidup di dunia bak orang asing? Ternyata kini diri ini mengalaminya. 

Kalau dulu merasa asing ketika berada di luar rumah, sekarang bahkan merasa asing di tempat tinggal sendiri. Mungkin hal itu sangat terasa semenjak kepergian bapak ibu. Meskipun di rumah ada kakak beserta keluarganya, tetap aja asing. 

Dulu memang sering dekat dengan bapak ibu. Bicara, ngobrol hingga bercanda pun juga bersama kedua orang tua. Di luar itu, tidak punya teman akrab atau sejenisnya. 

Ya dulu memang sempat akrab dengan kakak juga tapi sejak sudah berkeluarga rasanya seperti berjarak. Harap maklum saja karena prioritas sudah berbeda dan beban tanggung jawab sudah bertambah. Mengakui hal tersebut serta menerimanya. Maka tidak dapat dipungkiri ketika menjalani hidup, diri sendiri merasa seperti orang asing. 

Bila boleh jujur, sekarang hidup hanya sekadar hidup. Ambisi sudah setipis tisu, harus pintar-pintar mengelolanya. 

Ketika orang tua masih hidup, semangat muncul sendiri bahkan ketika sakit sekalipun. Sekarang waktu sakit, rasanya pingin bad rest kalau memang benar-benar tidak bisa menahan sakit. 

Orang merasa asing karena banyak merasakan ketidaknyamanan dalam hidup namun di satu sisi tetap menjalani hari sebagaimana mestinya. Seolah-olah memang dunia disetting penuh dengan ketidaknyamanan dan risiko. Setiap kenikmatan yang manusia terima selalu diikuti dengan konsekuensi di belakangnya. 

Kadang manusia terlalu tergoda akan perhiasan dunia sehingga manusia lupa bahwa dunia sementara, alhasil dikejarlah sampai frustrasi sampai kepikiran b*nuh diri. 

Bukan berarti tidak boleh mengusahakan dunia. Cara pandang orang asing, sadar betul hidup untuk sebuah tujuan cari bekal. Ibarat orang merantau ke negeri orang hanya untuk cari uang dan setiap tahun mudik guna melepas rindu bersama orang-orang tersayang. 

Maka orang asing memang menebar cinta dan kasih sayang tapi tidak melekatkan diri pada benda, orang dan tempat yang ditinggali saat itu. 

Pernah dengar sebuah kalimat "orang yang merasa dirinya asing, berarti dia telah menemukan Allah dan patah hati terhadap dunia". 

Berharap kepada makhluk bisa berujung kecewa. Ketika kamu mengetahui betul sifat manusia bahwa manusia punya hati yang labil dan kamu juga akan dihadapkan kondisi lingkungan tidak stabil pula. Maka perlu sadar diri dan tahu diri atas keberadaan kita di bumi ini. 

Kenapa banyak orang-orang yang terlalu mencintai malah cenderung menyakiti? Kemungkinan jawabannya ada pada ekspetasi. Kita berharap dan menuntut orang lain bisa mengerti keinginan kita, namun realita tak berjalan sesuai ekspetasi kita. 

Misal: seorang ibu ingin anaknya bisa patuh dan menurut dengan setiap perintah yang dilontarkan tapi sayangnya dianugerahi sosok anak bandel dan sering memberontak. 

Sepasang kekasih konflik berkepanjangan karena mereka masing-masing ingin dimengerti dan tidak ingin menerima banyak tuntutan. Alhasil tidak ada solusi sebab harus ada salah satu pihak yang rela berlapang dada memahami. 

Pandangan orang asing, menganggap dunia hanya sebagai wasilah atau perantara untuk memperbanyak bekal di akhirat. 

Nah, saat ini merasa seperti orang asing tapi belum bisa mendefinisikan secara jelas. Jadi orang asing karena hampa atau terlalu banyak kekecewaan? Ataukah memang benar-benar sadar dan tahu diri jika dunia ini hanyalah sementara?

Cara pandang saat ini melihat sesuatu dari sisi risikonya. Sebab sadar diri, semangat sudah tidak seperti dulu lagi, tidak ada rasa menggebu-gebu (tidak punya euforia), menjalani kehidupan hanya sekadar bertahan hidup. 

Pura-pura punya hobi sesuatu padahal sebenarnya minat sudah berkurang drastis. Sekalinya sakit langsung tumbang. 

Dulu punya simpati dan empati yang besar. Sekarang hal itu udah jarang sekali muncul. Hanya ketika sangat ingat kepada Allah saja, perasaan itu muncul dan tergerak menolong orang. 

Padahal dulu sensitif sekali, senang membantu orang dan tidak ingin melihat orang kesusahan. Tapi sekarang lebih sering mati rasa. Sebelum mati rasa, sempat benci dengan banyak hal, entah itu manusia, keadaan hingga diri sendiri. 

Seiring berjalannya waktu, perlahan mulai sadar bahwa kebencian tidak mendatangkan perubahan dan kebaikan, hanya akan menambah kerugian terus-menerus terutama untuk diri-sendiri. Alhasil kini lebih memilih netral plus bertahan saja. 

Tangki kasih sayang yang dulu diperoleh dari kedua orang tua, kini memang sudah tidak didapatkan lagi. Mau tidak mau ya harus menerima, ikhlas akan ketetapan-Nya. 

Dalam pikiran bergumam "Jadilah bapak ibu (orang tua) untuk diri sendiri". Ketika ada perasaan kangen, tinggal mengingat momen-momen indah bersama mereka. Bukan untuk meratapi nasib tapi sebagai tanda syukur bahwa Allah pernah menunjukkan tanda kebesaran-Nya melalui kasih sayang mereka. 

Memang jarang menuntut tapi lebih banyak menghabiskan waktu untuk menyendiri. Dalam kesendirian, lebih mengenal diri sendiri, merenung dan mendapat ketenangan hati. 

Kalau dulu sering berinteraksi dengan bapak ibu, sekarang kerap berinteraksi dengan diri sendiri. Kadang menahan ketawa karena tiba-tiba di pikiran muncul kalimat humor. Takut disangka gila saat ketahuan ketawa sendiri. 

Tidak habis pikir melihat anak kecil yang ditinggal orang tua sejak kecil. Bagaimana cara mereka mengingat momen indah dan bertahan hidup? 

Memang semua atas izin Allah, sehingga bisa bertahan hidup sampai sekarang. Tanpa menghadirkan Allah, mungkin diri ini sudah ada di rumah sakit jiwa karena jujur manusia tanpa Allah, itu benar-benar terbuai oleh perasaan sendiri. Semoga Allah memberi kekuatan fisik dan psikis, tetap bertauhid hingga akhir hayat.

Sangat berterima kasih kepada Allah, telah menghadirkan kedua orang tua yang telah mengajarkan tauhid, selalu senantiasa mengingatkan diri pada Allah selama beliau-beliau masih hidup. Ditambah pula, sering lihat kedua orang tua menjaga amalan-amalan sholat dan puasa sunnah. 

Ketika orang tua berusaha memperbaiki diri, ternyata anaknya menjadi sadar diri. Mencintai kedua orang tua karena Allah, semoga di akhirat kelak juga dipertemukan dan bisa berkumpul di surga.

Setelah menulis artikel ini, muncul sebuah pertanyaan "Apakah solusi menghadapi dunia ini adalah menjalani kehidupan dunia seolah-olah seperti orang asing?"

Banyak orang lari dari kenyataan pahit pada sesuatu yang tampak dihiasi keindahan, justru malah menyesatkan. 
Ketika orang bisa khusyuk dalam setiap ibadahnya, merasa diawasi oleh Allah dan mengetahui hakekat hidup sebenarnya. Kemungkinan orang tidak butuh minuman keras, narkoba, kupu-kupu malam sejenisnya dan bahkan hal-hal kemewahan yang berlebihan. 

Di mana manusia berpijak, di situlah manusia selalu butuh ketenangan hati. Hal itu bisa didapat dari cara pandangnya sendiri terhadap dunia. 

Cukup sekian dulu ya, semoga artikel ini bisa mengingatkan diri sendiri dan orang yang membacanya di masa depan. 

No comments:

Post a Comment