A.
Pendahuluan
Dalam merancang sebuah karya seni , kita tidak
lepas dari unsur estetika. Karya seni akan terlihat menarik apabila perpaduan
antar komposisi yang tepat dari sudut pandang tertentu.
Memandang estetika sebagai
suatu filsafat, hakikatnya telah menempatkannya pada satu titik dikotomis
antara realitas dan abstraksi, antara keindahan dan makna. Estetika tidak lagi
menyimak keindahan dalam pengertian konvensional. Melainkan telah bergeser ke
arah sebuah wacana dan fenomena. Estetika dalam karya seni modern, jika
didekatkan melaui pemahaman filsafat seni yang merujuk pada konsep-konsep
keindahan zaman Yunani atau abad pertengahan, akan mengalami pemiuhan
perseptual karena estetika bukan hanya simbolisasi dan makna, melainkan juga
daya.
Estetika merupakan suatu
telaah yang berkaitan dengan penciptaan, apresiasi, dan kritik terhadap karya
sni dalam konteks kerterkaitan seni dengan kegiatan manusia dan peranan seni
dalam perubahan dunia (van Mater Ames, Colliers Encyclopedia, vol. 1).
Pandangan – pandangan mengenai
estetika berubah seiring dengan perkembangan zaman. Pandangan bahwa estetika
hanya mengkaji segala sesuatu yang indah (cantik dan gaya seni), telah lama
dikoreksi, karena terdapat kecenderungan karya-karya seni modern tidak lagi
memberikan kecantikan seperti zaman Romantik atau Klasik, tapi lebih pada makna
dan aksi mental. Di akhir abad ke-20, pandangan-pandangan mengenai estetika
mengalami rekontruksi dan penyegaran-penyegaran baru ketika filsafat Posmodern
berkembang sejalan wacana kaum Postrukturalis.
Dalam wacana posmodern, karya
seni tidak lagi dipandang sebagai karya artistik, tetapi dipandang dari tanda,
jejak, dan makna. Dengan demikian kajian-kajian estetika pun meluas, tidak
sebatas pada artifak yang disepakati sebagai suatu karya seni, tetapi pada
suatu artifak yang mengandung makna. Objek dari bagian estetika yaitu fernomena
alam, karya dseni, karya desain, filsafat seni, proses kreatif (pengalaman
estetis).
Pada wacana dunia kesenirupaan
dan budaya benda, pembicaraan estetika yang penting adalah mengupas simbolisme.
Hal itu karena manusia bukan saja sebagai makhluk pembuat alat, melainkan juga
sebagai makhluk pembuat simbol melalui bahasa-bahasa visual.
Semua hasil karya manusia
setidaknya memiliki nilai keindahan walau sekecil apapun nilai keindahannya.
Mulai dari alat-alat rumah tangga, busana, tempat tinggal dan lain-lain.kecuali
harus prajtis digunakan, juga perlu serasi atau enak dilihat, yang berarti
memiliki nilai keindahan.
Suatu karya yang menginginkan
nilai keindahan, tentui membututhkan ilmu tata rupa. Rupa, artinya ujud atau
visual, yaitu membutuhkan sesuatu yang nampak dapat dilihat mata. Ilmu tata
rupa adalah ilmui yang mempelajari cara menata sesuatu yang tampak dilihat mata
untuk memperoleh susunan yang artistik atau bernilai keindahan.
Dasar-dasar tata rupa adalah
ilmu dasar dalam mempelajari cara-cara menata unsur-unsur seni rupa atau
disebut dasar-dasar merupa untuk memperoleh keindahan. Ilmu ini merupakan ilmu
yang sifatnya umum, di mana dapat diterapkan untuk bidang apa saja yang
memerlukan keindahan.
Setiap orang perlu mengetahui
ilmu tata rupa ini karena sebenarnya setiap orang tentu terlibat sesuatu yang
berhubungan dengan keindahan, baik sebagai pengguna maupun pencipta.
Dalam mempelajari tata rupa,
sebaiknya tidak sekedar mengetahui cara-cara menyusun karya seni secara teori
saja, tetapi diusahakan dapat menyalurkan pikiran dan perasaan serta
menuangkannya menjadi karya seni. Jadi tidak hanya bisa menikmati karya seni
tetapi harus dapat menciptakannya.
Tujuan mempelajari dasar-dasar
tata rupa /nirmana : 1) untuk melatih kepekaan artistik agar memiliki visi seni
tinggi, 2) untuk melatih ketrampilan teknis kesenirupaan, 3) untuk melatih
pemahaman bahasa rupa. Mempelajari tata rupa juga dimaksudkan agar seseorang
dapat menghargai karya seni orang lain, karena pada dasarnya seni apa saja
memili basis yang sama.
B.
Meningkatkan Nilai Estetik
Untuk meningkatkan nilai
estetik, kita perlu mengetahui tentang makna estetika. Abad ke-21 akan membuka
cakrawala baru dalam dunia estetika, khususnya proyeksi akan terciptanya
”realitas baru” estetik sebagai akibat dari glonalisasi ekonomi dan informasi.
Dalam abad tersebut, ruang estetik dipredeksi akan semakin meluas, objek
estetik akan semakin beragam, teknologi estetik akan semakin tinggi, idiom
estetik akan semakin terfragmentasi dan bahasa estetik semakin terdiferensiasi.
Kondisi tersebut akan semakin meningkatkan ”kompleksitas” dalam dunia estetik
(Yasraf Amir Piliang, Realitas Baru
Estetik,1997).
Dalam kondisi yang serba rumit
tersebut, estetik tetap harus memiliki makna bagi kehidupan umat manusia. Makna
dalam lingkup estetika secara konvensional sering dimengerti menjadi tiga
kelompok besar, pertama makna psikologis, yaitu upaya untuk meningkatkan
kualitas batin manusia, perenungan akan kemahabesaran Tuhan; kedua, makna
intrumental, yaitu sebagai bagian manusia dalam menyelenggarakan kehidupan
ragawinya melalui ekspresi dalam berkarya atau sertaan dalam benda-benda
kebutuhan sehari-hari; ketiga, makna yang dimiliki oleh estetika itu sendiri
dalam mewujudkan eksistensinya, yang dipresentasikan dalam pengembangan ilmu,
filsafat seni ataupun penyadaran baru. Walaupun demikian, pemaknaan dinilai
sebagai suatu cara yang paling objektif untuk memberi arti dalam semua
pekerjaan estetik, karena tanpa makna, apapun yang dikerjakan oleh manusia sama
dengan ”tiada”. Namun, makna tak selamanya menyertai sebuah karya estetik,
hanya dalam hal-hal khusus makna juga secara total hadir dalam karya estetik
(Theodor Adorno, Aesthetic Theory,
1986).
Makna dan nilai-nilai tidak
dapat dipisahkan, keduanya saling memperkuat yang akan membangun kedayaan suatu
karya seni ataupun desain. Fokus utama dalam konteks bahasan adalah bagaimana
penafsiran seorang desainer terhadap aspirasi zaman dengan rambu-rambu
estetika. Karena begitu beragamnya nilai dan norma yang berlaku dewasa ini dan
masa mendatang, pendekatan desain perlu dikembalikan pada konteks budaya,
sosial, komersial, industrial, lingkungan, teknologis ( Imam Buchori, Cara Pencapaian Tujuan Pendidikan Dalam
Lingkup Pendidikan Seni Rupa, 1991 ).
Pertumbuhan nilai estetik
dalam kehidupan sehari-hari secara umum dibangun oleh masyarakat itu sendiri
dalam upaya meningkatkan kualitas kebudayaannya. Ada upaya-upaya untuk
memberdayakan diri menjadi lebih baik dalam proses penciptaan benda, pemilihan
benda, dan juga konsumsi aneka benda.
Peningkatan nilai estetik pada
suatu benda tidak lepas dari adanya proses kreasi, apesiasi dan belajar. Pada
hakikatnya proses belajar, proses berpikir dan proses kreasi adalah nama yang
berbeda bagi proses yang sama yaitu proses imaginasi.
Dilihat dari bentuknya, manusia memiliki tiga bentuk image yaitu image
konkret, image abstrak (bahasa), dan pra-image. Setiap sistem indera memiliki
pra-image,image konkret, dan image abstrak sendiri. Pra-image adalah image yang
kabur, samar, tak jelas bentuknya, tapi ikut membantu kita dalam proses
berpikir . Image konkret adalah image yang jelas bentuknya, sedangkan image
abstrak adalah image konkret yang telah menjadi bahasa. Proses berpikir manusia
selalu memanfaatkan ketiga bentuk image tersebut, bukan hanya karena ketiganya
dapat berdampingan pada suatu saat yang sama tapi karena dapat saling
memunculkan dan saling melebur satu sama lain. Pertimbangan antara ketiga jenis
image, yang muncul pada saat yang sama, akan ikut menentukan sudah sejauh mana
tahap proses kreasi pada umumnya, dan kualitas berpikir pada khususnya.
Manusia memiliki tiga
kemampuan utama , yaitu kemampuan fisik, kemampuan kreatif, dan kemampuan
rasio. Ketiga kemampuan tersebut mulai membentuk limas dengan tiga rusuk yaitu
kreatif-perasaan-imaginasi, rasio-imaginasi-gerak dan fisik-gerak-perasaan.
Integrasi keseimbangan dinamis dari ketiga rusuk utama disebut dengan intuisi.
Kehilangan kreativitas akan menurunkan
intuisi hingga manusia menjadi robot semata, kehilangan rasio akan menurunkan
kualitas intuisi hingga manusia hanya menjadi pelamun yang tidak pernah mampu
memasuki dunia realita, kehilangan fisik berarti mati. Hal ini
berpengaruh terhadap seseorang dalam merancang suatu karya seni.
C.
Konsep Dasar Tata Rupa
Unsur-unsur rupa sebagai bahan
merupa, satu sama lain saling berhubungan, sehingga merupakan suatu kesatuan .
Hubungan tersebut antara lain: a) benda apa saja di alam ini tentu memiliki
bentuk, di mana setiap bentuk tersebut dapat disederhanakan menjadi titik,
garis, bidang, dan gampal; b) Setiap bentuk (titik,garis, bidang, dan gampal)
mempunyao rayt, ukuran, arah , warna, value, dan tekstur; c) Setiap bentuk
selalu dan pasti menempati ruang (dwimatra atau trimatra). Alat menata
rupa adalah interval-interval tangga unsur rupa. Interval adalah tingkatan,
gradasi, tangga nada (musik). Setiap unsur rupa dapat dibuat interval tangga
rupa.
Untuk memperoleh hasil karya seni/ desain yang artistik (bernilai seni)
diperlukan metode menata rupa yaitu prinsip- prinsip dasar tata rupa. Membentuk karya seni/desain sama seperti
halnya orang yang akan mendirikan bangunan/rumah. Bila seseorang akan mendirikan
bangunan/rumah, tentu membutuhkan bahan-bahan. Begitu pula bila seseorang akan
menciptakan karya seni, akan membutuhkan bahan-bahan berupa bentuk, raut,
ukuran, arah, warna, value/ tone/ nada, tekstur/barik, ruang dan lain-lain.
Namun perlu diperhatikan bahwa
karya seni tumbuh dari rasa dan dipengaruhi oleh kepekaan dan visi seni
sipencipta, sehingga hasil karya setiap orang berbeda-beda sekalipun metodanya
sama, ada yang bernilai seni sedang dan ada yang bernilai seni tinggi.
Karya seni/desain terdiri dari
dua dimensi atau dwimatra dan tiga dimensi atau trimatra, namun metoda tata
rupanya sama, yang berbeda hanya bahannya. Karya seni dua dimensi menggunakan
unsur/media garis hasil goresan, sedangkan karya seni trimatra menggunakan
unsur/media garis berwujud kawat, tali, benang, dan sebagainya dalam wujud
nyata.
Dasar-dasar tata rupa mempelajari metoda menata
rupa untuk memperoleh keindahan, juga mempelajari bhasa rupa. Unsur-unsur
garis, bidang, gempal, warna, value, tekstur dan sebagainya memiliki karakter
sendiri-sendiri yang merupakan karya seni / desain., karena dengan landasan
bahasa rupa ini si pencipta dapat menyampaikan pesan sesuai denganmisi yang
diinginkan. Oleh karena bahasa rupa ini sifatnya universal, maka dengan
disertakannya bahasa rupa ini , siapapun yang melihat karya tersebut akan dapat
mengerti maksudnya.
Agar memperoleh hasil tata
rupa yang lebih optimal, seseorang perlu sekali memahami unsur-unsur rupa
secara lebih mendalam.
D. Desain dan Analisis Unsur Rupa
Desain / merancang adalah suatu proses dari menggabungkan beberapa
komponen dengan cara yang berbeda untuk menghasilkan karaya atau efek baru. Langkah-langkah
dalam membuat karya seni : 1) muncul ide; 2) memilih bahan dan lain-lain; 3)
menyusun; 4) mengolah; 5) membentuk; 6) memecahkan masalah; 7) mewujudkan satu
kesatuan yang mengandung nilai rasa (estetik).
Tujuan utama dalam mendesain
adalah menghasilkan /menciptakan tata susunan (organisasi). Hal yang
berkaitan dengan Desain : ide, fungsi, bentuk, material (bahan), teknik (metode).
Sebelum merancang sebuah karya
seni, kita perlu memahami komponen-komponen desain terlebih dahulu. Komponen
desain terdiridari unsur-unsur desain dan prinsip-prinsip desain. Yang termasuk
ke dalam prinsip-prinsip desain antara lain pengulangan (repetation), gradasi,
irama (rhytem), keselarasan, harmony, radiasi, berlawanan (contras), dominasi
(dominance), keseimbangan (balance), komposisi dan kejujuran. Sedangkan dalam
unsur desain terdapat garis (line), bentuk (shape), volume, warna (color), serta
tekstur. Unsur-unsur desain adalah elemen yang digerakkan dengan
prinsip-prinsip desain yang akhirnya menjadi satu kesatuan karya. Cara untuk
mencapai satu kesatuan dari unsur dan prinsip: 1) satu kesatuan yang
ditimbulkan oleh dominasi (ada bagian yang lebih kuat /paling banyak dari yang
lain yaitu ukuran, intensitas warna, cara penempatan; 2) satu kesatuan yang
ditimbulkan oleh kesamaan bentuk, warna, ukuran, sifat garis, tekstur; 3)
satu-kesatuan yang ditimbulkan dengan cara pengumpulan bentuk-bentuk yang
berbeda (dari warna maupun bentuk itu sendiri); 4) kesatuan yang ditimbulkan
oleh arah memusat seperti spiral, menyebar, keselarasan/ harmony (warna
penempatan).
Garis adalah rangkaian/ runtutan titik-titik yang disambung baik terukur
maupun tidak. Garis dalam desain memiliki arah, efek psikologis, optical
illusion (tipuan mata). Garis terdiri dari garis geometri dan garis ekspresif.
Tekstur adalah unsur rupa yang menunjukan rasa permukaan bahan, yang
tidak disengaja atau sengaja dihadirkan dalam sebuah karya. Tekstur terdiri
dari tekstur semu
( ketika diraba
tidak sesuai dengan apa yang kita ihat) dan tekstur nyata (sesuai dengan apa
yang dilihat.
Unsur rupa lain yaitu bidang (geometri, natural, biomorphic), warna,
(bersifat tidak absolut).
E. Nirmana
Nirmana berasal dari dua kata yaitu Nir yang artinya tidak, mana berarti
bentuk. Jadi nirmana adalah sesuatu objek yang tidak berbentuk atau tidak menyerupai apapun. Nirmana terbagi
menjadi dua yaitu nirmana trimatra dan nirmana dwimatra.
Dwimatra (dua dimensi) yaitu panjang dan lebar, membentuk bidang papar.
Pada bidang papar dapat dibuat markah papar yang dapat dilihat dan tidak
mempunyai kedalaman, kecuali kedalaman maya. Dunia dwimatra pada dasarnya
ciptaan manusia, seperti menggambar, melukis, mencetak dan mencelup.
Merancang dwimatra ialah menciptakan dunia dwimatra dengan jalan mengatur
berbagai macam unsur dengan sadar. Tujuan
utamanya mencapai keserasian dan keteraturan rupa, atau membangkitkan keasyikan
rupa tertentu.
Trimatra (tiga dimensi) ialah rangkaian
kesatuan ruang yang kita huni dan dapat disentuh serta diraba. Untuk memahami
benda trimatra, kita harus melihatnya dari berbagai sudut dan jarak yang
berbeda, kemudian hasil penglihatan itu dirakit dalam pikiran agar memperoleh
pemahaman yang lengkap tentang kenyataan trimatra.
Merancang trimatra juga
bertujuan mencapai keserasian rupa, atau membangkitkan rupa tertentu yang
mengasyikan. Hal ini lebih rumit karena berbagai sudut pandang harus
dipertimbangkan dengan serempak, pertalian ruang yang rumit ini tidak mudah
digambarkan dalam kertas. Dalam merancang lebih mudah karena berurusan dengan
bentuk dan bahan yang nyata dalam ruang sebenarnya.
Ada beberapa perbedaan sikap
antara cara berpikir trimatra dan dwimatra. Perancang bentuk harus mampu
membayangkan keseluruhan bentuk sebuah benda, lalu memutar-mutarnya seolah
benda itu ada di tangannya. Tidak boleh membatasi santirnya pada satu atau dua
tampak saja, tetapi harus menjelajahi permainan kedalaman dan perurutan rongga,
dampak pukal, dan khuluk bahan yang berlainan.
Untuk memulai berpikir trimatra, pertama-tama
kita harus mengetahui tiga arah utama yakni panjang, lebar, dan tinggi sehingga
kita harus mengukur benda itu ke arah tegak, lintang, dan bujur.
F.
Kesimpulan
Penerapan estetika dalam merancang karya seni sangat diperlukan agar dapat tercipta sebuah karya
yang baik. Penilaian estetika setiap orang terhadap suatu karya seni
berbeda-beda sesuai dengan pengalaman estetis yang pernah mereka lakukan.
Kita dapat meningkatkan nilai
estetik dengan menaikan kualitas intuisi kita sehingga membentuk suatu karya
yang berkualitas dan tidak hanya asal-asalan.
DAFTAR PUSTAKA
Sachari, Agus. 2002. Estetika. Bandung: ITB.
Primadi. 2000. Proses Kreasi, Apresiasi, Belajar . Bandung: ITB.
Wucius Wong.1989.
Principal of Three Dimensional Design.
Banding: ITB.
Ebdi Sanyoto,
Sadjiman. 2005. Dasar- Dasar Tata Rupa
dan Desain dalam Nirmana. Yogyakarta: Arti
Bumi Intaran.
No comments:
Post a Comment